Sekumpulan anak sedang bermain bersama membuat sebuah istana pasir di pantai. Ada yang rajin, ada juga yang malas. Ada yang idenya mengalir dan dapat mengarahkan teman-temannya yang lain, ada juga yang hanya menjadi pengikut yang menurut pada perintah teman yang lain. Kadangkala terdengar mereka bertengkar satu sama lain, kadang tertawa riang bersama penuh kepuasan. Setelah selesai, mereka berganti permainan dan melanjutkannya hingga selesai atau berhenti karena mereka harus segera pulang ke rumah masing-masing.
Pada saat bermain, seorang anak tanpa sadar melibatkan segenap pikiran, usaha, dan tenaganya untuk menyelesaikan permainan tersebut. Dalam permainan-permainan tersebut seringkali muncul perilaku-perilaku atau ide-ide tertentu yang menjadi dasar dari pola interaksi antar manusia. Kalau kita amati lebih lanjut pada saat mereka bermain dapat kita lihat bagaimana mereka bicara, mengeluarkan pendapat, memimpin, memecahkan masalah, mengatasi konflik, memotivasi dan lain sebagainya, yang sebenarnya merupakan miniatur dari pola-pola dasar dalam interaksi manusia dewasa.
Manusia pada dasarnya merupakan homo ludens, makhluk yang senang bermain. Jikalau kita sodorkan sebuah permainan, besar kemungkinan mereka akan tertarik dan menikmati permainan tersebut. Manusia juga merupakan homo socius, yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lain. Dalam kehidupannya, manusia terus mengembangkan perilaku-perilaku yang dibutuhkan dan sesuai dengan lingkungannya.
Pemanfaatan games dalam mengembangkan sumber daya manusia salah satunya didasari pada penjelasan di atas. Kita dapat menyusun satu atau serangkaian aktivitas dalam bentuk games untuk mengembangkan aspek perilaku tertentu. Syaratnya, games yang kita susun harus mampu memunculkan aspek perilaku yang ingin kita kembangkan. Kemunculan perilaku tersebut dapat bervariasi dari yang sangat tidak sesuai dengan yang kita harapkan, sesuai atau bahkan justeru melebihi dari yang kita harapkan.
Perilaku-perilaku yang kita jadikan standard tersebut biasanya merupakan bagian dari objectives sebuah training / pelatihan dan bisa juga dari proses development / pengembangan individu. Berdasarkan tingkat kesesuaian antara perilaku yang dimunculkan dalam training (melalui games) dengan objectives yang ditetapkan dilakukanlah intervensi yang sering disebut sebagai fasilitasi. Proses Fasilitasi ini dilakukan oleh seorang fasilitator dengan tujuan memperbaiki dan mengembangkan perilaku-perilaku efektif dan meminimalkan yang tidak efektif, dalam interaksi antar manusia.
Melalui proses fasilitasi ini, seorang trainee diajak untuk menggali insight atau learning point dari games yang telah dilakukannya. Bukan sekedar bermain, seorang trainee telah mengerahkan potensinya dan orisinalitasnya dalam menyelesaikan sebuah games. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar proses fasilitasi.
Dari sini dapat kita lihat bahwa ketepatan penyusunan games dalam rangka menggali aspek perilaku tertentu menjadi sangat krusial dalam proses pengembangan individu. Games yang disusun sedapat mungkin analog dengan dengan situasi real dan mampu memunculkan perilaku-perilaku yang diperlukan / ditampilkan dalam situasi-situasi real tersebut.
Tidak dapat dipungkiri juga bahwa ketiadaan dan kegagalan dalam proses fasiltasi juga membuat trainee hanya memperoleh fun dan lelah tanpa learning point apapun.
Sebuah contoh sederhana dalam sebuah games yang dinamakan Line Up atau Berbaris. Beberapa orang diminta menyusun barisan dari depan ke belakang secepat-cepatnya dengan kriteria-kriteria tertentu, misalnya berdasarkan angka tanggal lahir yang paling kecil. Dalam permainan tersebut ada yang sangat bersemangat dan berinisiatif bertanya kepada yang lain, ada yang diam-diam saja namun mendengarkan dan mencoba menempatkan diri dalam barisan, dan ada juga yang hanya diam mengikuti instruksi yang lainnya. Jika kita ingin menggali inisiatif dan komunikasi dua arah sebagai bagian dari insight yang kita ingin sampaikan (objectives) maka kejadian-kejadian tersebut dapat menjadi bahan diskusi setelah games selesai dimainkan. Jika tidak dibahas atau difasilitasi dengan baik maka hal-hal tersebut hanya akan terlewati dan yang didapat tentunya hanya fun saja.
Penjelasan di atas lebih mengarah kepada pemanfaatan games sebagai sarana pengembangan sumber daya manusia. Namun tidak salah juga kalau kita hanya ingin memberikan unsur fun dari sebuah games. Pemanfaatan games dalam porsi demikian seringkali disebut sebagai Energizer atau icebreaking.
Energizer atau icebreaking ini seringkali dilakukan dalam proses pencairan interaksi di antara orang-orang yang baru bertemu, dan atau dapat juga untuk menghangatkan suasana dalam sebuah meeting atau kelas training. Tidak perlu dan tidak harus ada proses fasilitasi atau penggalian insight dari aktifitas games yang seperti ini. Namun, harus diingat bahwa cara membawakannya pun harus dengan antusias agar audience / peserta dapat menjadi semangat kembali.
Pada dasarnya, pemanfaatan games untuk kedua kebutuhan tersebut, training / pengembangan dan energizer / icebreaking, dapat dilakukan di dalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan (outdoor). Cukup banyak permainan yang dapat dimainkan di kedua tempat tersebut, namun ada juga games-games yang hanya dapat dimainkan di indoor saja atau di outdoor saja. Alat-alat maupun pelengkap permainan dapat saja digunakan sepanjang dapat menunjang tercapainya pemanfaatan games tersebut. Penulis sendiri selama ini selalu memanfaatkan games dalam melakukan tugas memberikan pelatihan di organisasi. Banyak yang bisa digali dan dikembangkan dari respon-respon peserta yang genuine dan kerapkali diluar dugaan, bahkan di luar dugaan si peserta sendiri yang merasa potensinya ternyata jauh dari apa yang diketahuinya selama ini.
Kita mesti bijak dalam memilih, menentukan, dan menggunakan games, apakah itu untuk kepentingan pengembangan atau sekedar fun. Jangan sampai justeru tujuan tidak pernah tercapai hanya karena kita sendiri hanya ikut-ikutan memainkan sebuah games tanpa tahu tujuan / objectives yang kita inginkan.
Penulis menyarankan untuk tidak latah menggunakan games secara sembarangan dengan embel-embel training. Sebagai energizer atau icebreaking dalam meeting atau sebuah acara gathering tentu tidak ada masalah. Namun ketika games hanya menjadi sebuah permainan tanpa pernah dimaknai, maka games hanyalah tinggal penghangat suasana.